Pemuda LinTAs Masyarakat UjanmaS merigI, akan tanam sengon empat puluh ribu batang di lokasi Lahan Tidur Milik PT. PLN (Persero) Pembangkitan Bengkulu, dimana pada penanaman sengon ini akan dihadiri oleh bupati kepahiang, FKPD dan Kepala SKPD, Camat dan Kabag diwilayah Pemerintahan Kabupaten Kepahiang, serta Kades dan Lurah Sekecamatan Ujan Mas, selian itu di tanah seluas 30 hektar ini juga akan ditanam Pohon Buah-buahan seperti Durian Bengkulen, Mangga Bengkulen serta buah-buahan laiannya, dan kedepan ini akan dijadikan sebagai eko wisata Kabupaten Kepahiang
Selasa, 27 Desember 2011
Senin, 19 Desember 2011
Sejarah Suku Rejang
Suku bangsa Rejang yang dewasa ini bertebaran tentunya mempunyai asal usul mula jadinya, dari cerita secara turun temurun dan beberapa karangan-karangan tertulis mengenai Rejang dapatlah dipastikan bahwa asal usul suku bangsa Rejang adalah di Lebong yang sekarang dan ini terbukti dari hal-hal berikut :
John Marsden, Residen Inggris di Lais (1775-1779), memberikan keterangan tentang adanya empat Petulai Rejang, yaitu Joorcalang (Jurukalang), Beremanni (Bermani), Selopo (selupu) dan Toobye (Tubay).
J.L.M Swaab, Kontrolir Belanda di Lais (1910-1915) mengatakan bahwa jika Lebong di angap sebagai tempat asal usul bangsa Rejang, maka Merigi harus berasal dari Lebong. Karena orang-orang merigi memang berasal dari wilayah Lebong, karena orang-orang Merigi di wilayah Rejang (Marga Merigi di Rejang) sebagai penghuni berasal dari Lebong, juga adanya larangan menari antara Bujang dan Gadis di waktu Kejai karena mereka berasal dari satu keturunan yaitu Petulai Tubei.
Dr. J.W Van Royen dalam laporannya mengenai “Adat-Federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang” pada pasal bengsa Rejang mengatakan bahwa sebagai kesatuan Rejang yang paling murni, dimana marga-marga dapat dikatakan didiami hanya oleh orang-orang dari satu Bang dan harus diakui yaitu Rejang Lebong.
Pada mulanya suku bangsa Rejang dalam kelompok-kelompok kecil hidup mengembara di daerah Lebong yang luas, mereka hidup dari hasil-hasil Hutan dan sungai, pada masa ini suku bangsa Rejang hidup Nomaden (berpindah-pindah) dalam tatanan sejarah juga pada masa ini disebut dengan Meduro Kelam (Jahiliyah), dimana masyarakatnya sangat mengantungkan hidupnya dengan sumber daya alam dan lingkungan yang tersedia.
Barulah pada zaman Ajai mereka mulai hidup menetap terutama di Lembah-lembah di sepanjang sungai Ketahun, pada zaman ini suku bangsa Rejang sudah mengenai budi daya pertanian sederhadan serta pranata sosial dalam mengatur proses ruang pemerintahan adat bagi warga komunitasnya. Menurut riwayat yang tidak tertulis suku bangsa Rejang bersal dari Empat Petulai dan tiap-tiap Petulai di Pimpin oleh seorang Ajai. Ajai ini berasal dari Kata Majai yang mempunyai arti pemimpin suatu kumpulan manusia.
Dalam zaman Ajai ini daerah Lebong yang sekarang masih bernama Renah Sekalawi atau Pinang Belapis atau sering juga di sebut sebagai Kutai Belek Tebo. Pada masa Ajai masyarakat yang bekumpul sudah mulai menetap dan merupakan suatu masyarakat yang komunal didalam sisi sosial dan kehidupannya sistem Pemerinatahan komunial ini di sebut dengan Kutai. Keadaan ini ditunjukkan dengan adanya kesepakatan antara masyarakat tersebut terhadap hak kepemilikan secara komunal. Semua ketentuan dan praktek terhadap hak dan kepemilikan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan masyarakat dipimpin oleh seorang Ajai. Walaupun sebenarnya dalam penerapan di masyarakat seorang Ajai dan masyarakat lainnya kedudukannya tidak dibedakan atau dipisahkan berdasarkan ukuran derajad atau strata.
Sungguhpun demikian pentingnya kedudukan Ajai tersebut dan di hormati oleh masyarakatnya, tetapi masih dianggap sebagai orang biasa dari masyarakat yang diberi tugas memimpin, ke empat Ajai tersebut adalah:
Ajai Bintang memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Pelabai suatu tempat yang berada di Marga Suku IX Lebong
Ajai Begelan Mato memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Kutai Belek Tebo suatu tempat yang berada di Marga Suku VIII, Lebong
Ajai Siang memimpin sekumpulan manusai yang menetap di Siang Lekat suatu tempat yang berada di Jurukalang yang sekarang.
Ajai Malang memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Bandar Agung/Atas Tebing yang termasuk kedalam wilayah Marga Suku IX sekarang.
Pada masa pimpinan Ajai inilah datang ke Renah Sekalawi empat orang Biku/Biksu masyarakat adat Rejang menyebutnya Bikau yaitu Bikau Sepanjang Jiwo, Bikau Bembo, Bikau Pejenggo dan Bikau Bermano. Dari beberapa pendapat menyatakan bahwa para Bikau ini berasal dari Kerajaan Majapahit namun beberapa tokoh yang ada di Lebong berpendapat tidak semua Bikau ini bersal dari Majapahit. Dari perjalan proses Bikau ini merupakan utusan dari golongan paderi Budha untuk mengembangkan pengaruh kebesaran Kerajaan Majapahit, dengan cara yang lebih elegan dan dengan jalan yang lebih arif serta mementingkan kepedulian sosial dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya lokal.
Melalui strategi para utusan Menteri Kerajaan seharusnya tidak lagi berusaha untuk menyebarkan kebudayaan serta bahasa Jawa. Oleh karena itu golongan paderi Budha yang memiliki tindakan yang tenang dan ramah tamah, dengan mudah dapat diterima dan masyarakat Rejang. Terbukti bahwa keempat Biku tersebut bukanlah mempunyai maksud merampas harta atau menerapkan upeti dan pajak terhadap Raja Majapahit, namun mereka hanya memperkenalkan kerajaan Majapahit yang tersohor itu dengan raja mudanya yang bernama Adityawarman. Sewaktu mereka sampai di Renah Sekalawi keempat Biku tersebut karena arif dan bijaksana, sakti, serta pengasih dan penyayang, maka mereka berempat tidak lama kemudian dipilih oleh keempat kelompok masyarakat (Petulai) dengan persetujuan penuh dari masyarakatnya sebagai pemimpin mereka masing-masing.
Biku Sepanjang Jiwo menggantikan Ajai Bitang
Biku Bembo menggantikan Ajai Siang
Biku Bejenggo menggantikan Ajai Begelan Mato
Biku Bermano menggantikan Ajai Malang
Setelah dipimpin oleh empat Biku, Renah Sekalawi berkembang menjadi daerah yang makmur dan mulai produktif pertaniannya sudah mulai bercocok tanam, berkebun dan berladang. Sehingga pada saat itulah kebudayaan mereka semakin jelas dan terkenal dengan adanya tulisan sendiri dengan abjad Ka-Ga-Nga (sampai sekarang masih lestari dan di klaim menjadi tulisan asli Bengkulu).
Setelah keempat Biku terpilih untuk memimpin kelompok masyarakat mendapat sebuah tantangan dalam bentuk bencana wabah penyakit yang menyerang masyarakat. Bencana itu terjadi kira-kira akhir abad ke XIII, wabah penyakit yang banyak merenggut jiwa masyarakat tanpa memandang umur dan jenis kelamin. Menurut ramalan para ahli nujum setempat yang menyebabkan datangnya musibah itu adalah seekor beruk putih yang bernama Benuang Sakti dan berdiam di atas sebuah pohon yang besar di tengah hutan.
Untuk mencari jalan keluar atas bencana yang terjadi, keempat Biku itu bersepakatlah untuk mencari pohon besar tersebut dan segera menebangnya dengan sebuah harapan setelah ditebang dapat mengakhiri wabah yang terjadi. Setelah membagi tugas masing-masing mereka berpencar ke segala penjuru hutan dan akhirnya rombongan Biku Bermano sampai dan menemukan pohon besar yang mereka cari, mereka kemudian segera untuk menebang pohon besar itu, namun usaha mereka tidak berhasil menebang pohon tersebut karena semakin ditebang oleh kapak, pohon tersebut semakin bertambah besar, kejadian yang sama terjadi, setelah rombongan dari Biku Sepanjang Jiwo sampai di tempat yang sama dan mencoba untuk menebang pohon besar itu, disusul rombongan dari Biku Bejenggo tetapi pohon itu pun tidak juga roboh. Pada saat itu munculah rombongan terakhir yaitu Biku Bembo dan kepada mereka diceritakan kejadian aneh yang mereka alami dalam menebang pohon besar yang tidak mau roboh setelah ditebang bahkan pohon itu bertamah besar.
“Riwayat saat bertemu rombongan pimpinan Biku Bembo bertemu dengan ketiga rombongan di tempat ditemukannya pohon besar yang di atasnya ada beruk putih bernama Benuang Sakti berada terlontarlah kata-kata dalam bahasa Rejang: pro pah kumu telebong yang berarti di sini kiranya saudara-saudar berada. Sejak peristiwa itu Renah Sekalawi bertukar nama menjadi Lebong”.
Setelah diceritakan kejadian yang terjadi kepada rombongan Biku Bembo, mereka bermusyawarah untuk mengatasi masalah yang terjadi itu dan bersepakat meminta petunjuk kepada Sang Hiang (Yang Maha Kuasa) supaya dapat mencari cara bagaimana menebang pohon besar itu supaya dapat ditebang. Cara yang dilakukan oleh keempat Biku itu adalah dengan betarak (bertapa), setelah betarak dilakukan mereka mendapat petunjuk pohon itu dapat ditebang kalau dibawahnya digalang/ditopang oleh tujuh orang gadis muda/remaja.
Setelah itu mereka bergegas menyiapkan segala sesuatu petunjuk yang didapat oleh Sang Hiyang termasuk bagaimana caranya mereka mencari akal supaya ketujuh gadis itu supaya tidak menjadi korban atau mati tertimpa oleh pohon besar yang akan dirobohkan. Selanjutnya mereka menggali parit untuk menyelamatkan ketujuh gadis penggalang itu. Setelah pekerjaan membuat parit dan ketujuh gadis siap untuk menggalang pohon yang akan dirobohkan, maka mulailah pohon besar itu ditebang dan sesungguhnya pohon itu roboh di atas tempat ketujuh gadis penggalang. Parit yang dibuat tepat di tempat rebahnya pohon besar yang telah ditebang telah menyelamatkan ke tujuh gadis dari maut dan terlindungi di dalam parit yang dibuat.
“Peristiwa yang diriwayatkan di atas dijadikan awal dari pemberian nama bagi petulai-petulai mereka sesuai dengan pekerjaan rombongan pemimpin masing-masing dalam usaha menebang pohon besar dimana tempat bersemayam beruk putih Benuang Sakti”.
Petulai Biku Sepanjang Jiwo diberi nama Tubeui atau Tubai, asal kata dari bahasa Rejang “berubeui-ubeui” yang berarti berduyun-duyun.
Petulai Biku Bermano diberi nama Bermani, asal kata ini dari bahasa Rejang “beram manis” yang berarti tapai manis.
Petulai Biku Bembo diberi nama jurukalang, asal kata dari bahasa Rejang “kalang” yang berarti galang.
Petulai Biku Bejenggo diberi nama Selupuei asal kata dari bahasa Rejang “berupeui-uoeui” yang berarti bertumpuk-tumpuk.
Maka sejak saat itulah Renah Sekalawi bernama Lebong dan tercipta Rejang Empat petulai yang menjadi Intisari dan asal mula suku bangsa Rejang.
Kesepakatan yang di bangun setalah prosesi penebangan kayu Benuang Sakti ini semua rakyat di bawah pimpinan Bikau Sepanjang Jiwo di mana saja mereka berada di satukan di bawah kesatuan Tubey dan berpusat di Pelabai. Dengan kembalinya Bikau Sepanjang Jiwo ke Majapahit atau ada yang berpendapat ke bagian Majapahit Melayu yang berfusat di Pagar Ruyung, kepemimpinan Bikau ini kemudian di gantikan oleh Rajo Mengat atau Rajo Mudo Gunung Gedang yang kedatangannya dapat diperkirakan sekitar abad ke-15.
Baru setelah kepemimpinan Rajo Mengat ini yang digantikan oleh anaknya bernama Ki Karang Nio yang memakai gelar Sultan Abdullah akibat pertambahan jumlah penduduk dan kebutuhan untuk invansi wilayah, maka anak komunitas ini bertebaran dan membentuk komunitas-komunitas baru atas kesepakatan besar yang dilakukan di Lebong kemudian Petulai Tubey ini dipecahkan menjadi Marga Suku IX yang berkedudukan di Kutai Belau Saten, Marga Suku VIII di Muara Aman dan Merigi untuk pecahan Petulai Tubey di Luar wilayah Lebong.
Petulai Selupu tidak pecah dan tetap utuh walaupun anggota-anggotanya bertebaran ke mana-mana. Menurut riwayat Bikau Pejenggo yang mengantikan Ajai Malang ini berkedudukan di Batu Lebar di Kesambe yang merupakan wilayah Rejang, sedangkan Desa Administratif Atas Tebing include ke dalam wilayah adat Selupu Lebong yang merupakan wilayah desa yang berbatasan dengan wilayah adat Rejang Pesisir dan Desa Suka Datang berada dalam wilayah Marga Suku IX secara fisik berbatasan dengan wilayah Adat Bintunan Rejang Pesisir.
Sistem Kelembagaan Komunal/Adat
Dari resume yang ditulis di atas dapat diketahui bahwa asal usul suku bangsa Rejang dari Lebong dan berasal dari empat Petulai yaitu Jurukalang, Bermani, Selupu dan Tubey. Dari Tulisan Dr Hazairin dalam bukunya De Redjang yang mengutip tulisan dari Muhammad Husein Petulai di sebut juga dengan sebutan Mego.
Hal ini di perkuat juga dengan tulisan orang-orang inggris yang pernah di Bengkulu Marsden dan Raffles demikian juga dengan orang Belanda Ress dan Swaab menyebut juga perkataan Mego.
Petulai atau Mego ini adalah kesatuan kekeluargaan yang timbul dari sistem unilateral dengan sistem garis keturunan yang patrilinial dan perkawinan yang eksogami, sekalipun mereka terpencar dimana-mana. Sistem eksogami ini merupakan syarat mutlah timbulya Petulai/clan sedangkan sistem kekeluargaan yang patrilineal sangat mempengaruhi sistem kemasyarakatan dan akhirnya mempengaruhi bentuk kesatuan dan kekuasaan dalam masyarakat.
Pada zaman Bikau masyarakat di atur atas dasar sistem hukum yang di buat berdasarkan azas mufakat/musyawarah, keadaan ini melahirkan kesatuan masyarakat hukum adat yang disebut dengan Kutai yang dikepalai oleh Ketuai Kutai. Kutai ini bersal dari Bahasa dan perkataan Hindu Kuta yang difinisikan sebagai Dusun yang berdiri sendiri, sehingga pengertian Kutai ini adalah kesatuan masyarakat hukum adat tunggal yang geneologis dengan pemerintahan yang berdiri sendiri dan bersifat kekeluargaan.
Pada Zaman kolonial kemudian sistem kelembagaan dan pemerintahan adat ini oleh Assisten Residen Belanda J. Walland (1861-1865) kemudian mengadopsi sistem pemerintahan lokal yang ada di wilayah Palembang dengan menyebut Kutai atau Petulai ini dengan sebutan Marga yang dikepalai oleh Pesirah. Dengan bergantinya sistem pemerintahan ini Kutai di ganti dengan sebutan Dusun sebagai kesatuan masyarakat hukum adat secara teroterial di bawah kekuasaan seorang Kepala Marga yang bergelar Pesirah.
John Marsden, Residen Inggris di Lais (1775-1779), memberikan keterangan tentang adanya empat Petulai Rejang, yaitu Joorcalang (Jurukalang), Beremanni (Bermani), Selopo (selupu) dan Toobye (Tubay).
J.L.M Swaab, Kontrolir Belanda di Lais (1910-1915) mengatakan bahwa jika Lebong di angap sebagai tempat asal usul bangsa Rejang, maka Merigi harus berasal dari Lebong. Karena orang-orang merigi memang berasal dari wilayah Lebong, karena orang-orang Merigi di wilayah Rejang (Marga Merigi di Rejang) sebagai penghuni berasal dari Lebong, juga adanya larangan menari antara Bujang dan Gadis di waktu Kejai karena mereka berasal dari satu keturunan yaitu Petulai Tubei.
Dr. J.W Van Royen dalam laporannya mengenai “Adat-Federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang” pada pasal bengsa Rejang mengatakan bahwa sebagai kesatuan Rejang yang paling murni, dimana marga-marga dapat dikatakan didiami hanya oleh orang-orang dari satu Bang dan harus diakui yaitu Rejang Lebong.
Pada mulanya suku bangsa Rejang dalam kelompok-kelompok kecil hidup mengembara di daerah Lebong yang luas, mereka hidup dari hasil-hasil Hutan dan sungai, pada masa ini suku bangsa Rejang hidup Nomaden (berpindah-pindah) dalam tatanan sejarah juga pada masa ini disebut dengan Meduro Kelam (Jahiliyah), dimana masyarakatnya sangat mengantungkan hidupnya dengan sumber daya alam dan lingkungan yang tersedia.
Barulah pada zaman Ajai mereka mulai hidup menetap terutama di Lembah-lembah di sepanjang sungai Ketahun, pada zaman ini suku bangsa Rejang sudah mengenai budi daya pertanian sederhadan serta pranata sosial dalam mengatur proses ruang pemerintahan adat bagi warga komunitasnya. Menurut riwayat yang tidak tertulis suku bangsa Rejang bersal dari Empat Petulai dan tiap-tiap Petulai di Pimpin oleh seorang Ajai. Ajai ini berasal dari Kata Majai yang mempunyai arti pemimpin suatu kumpulan manusia.
Dalam zaman Ajai ini daerah Lebong yang sekarang masih bernama Renah Sekalawi atau Pinang Belapis atau sering juga di sebut sebagai Kutai Belek Tebo. Pada masa Ajai masyarakat yang bekumpul sudah mulai menetap dan merupakan suatu masyarakat yang komunal didalam sisi sosial dan kehidupannya sistem Pemerinatahan komunial ini di sebut dengan Kutai. Keadaan ini ditunjukkan dengan adanya kesepakatan antara masyarakat tersebut terhadap hak kepemilikan secara komunal. Semua ketentuan dan praktek terhadap hak dan kepemilikan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan masyarakat dipimpin oleh seorang Ajai. Walaupun sebenarnya dalam penerapan di masyarakat seorang Ajai dan masyarakat lainnya kedudukannya tidak dibedakan atau dipisahkan berdasarkan ukuran derajad atau strata.
Sungguhpun demikian pentingnya kedudukan Ajai tersebut dan di hormati oleh masyarakatnya, tetapi masih dianggap sebagai orang biasa dari masyarakat yang diberi tugas memimpin, ke empat Ajai tersebut adalah:
Ajai Bintang memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Pelabai suatu tempat yang berada di Marga Suku IX Lebong
Ajai Begelan Mato memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Kutai Belek Tebo suatu tempat yang berada di Marga Suku VIII, Lebong
Ajai Siang memimpin sekumpulan manusai yang menetap di Siang Lekat suatu tempat yang berada di Jurukalang yang sekarang.
Ajai Malang memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Bandar Agung/Atas Tebing yang termasuk kedalam wilayah Marga Suku IX sekarang.
Pada masa pimpinan Ajai inilah datang ke Renah Sekalawi empat orang Biku/Biksu masyarakat adat Rejang menyebutnya Bikau yaitu Bikau Sepanjang Jiwo, Bikau Bembo, Bikau Pejenggo dan Bikau Bermano. Dari beberapa pendapat menyatakan bahwa para Bikau ini berasal dari Kerajaan Majapahit namun beberapa tokoh yang ada di Lebong berpendapat tidak semua Bikau ini bersal dari Majapahit. Dari perjalan proses Bikau ini merupakan utusan dari golongan paderi Budha untuk mengembangkan pengaruh kebesaran Kerajaan Majapahit, dengan cara yang lebih elegan dan dengan jalan yang lebih arif serta mementingkan kepedulian sosial dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya lokal.
Melalui strategi para utusan Menteri Kerajaan seharusnya tidak lagi berusaha untuk menyebarkan kebudayaan serta bahasa Jawa. Oleh karena itu golongan paderi Budha yang memiliki tindakan yang tenang dan ramah tamah, dengan mudah dapat diterima dan masyarakat Rejang. Terbukti bahwa keempat Biku tersebut bukanlah mempunyai maksud merampas harta atau menerapkan upeti dan pajak terhadap Raja Majapahit, namun mereka hanya memperkenalkan kerajaan Majapahit yang tersohor itu dengan raja mudanya yang bernama Adityawarman. Sewaktu mereka sampai di Renah Sekalawi keempat Biku tersebut karena arif dan bijaksana, sakti, serta pengasih dan penyayang, maka mereka berempat tidak lama kemudian dipilih oleh keempat kelompok masyarakat (Petulai) dengan persetujuan penuh dari masyarakatnya sebagai pemimpin mereka masing-masing.
Biku Sepanjang Jiwo menggantikan Ajai Bitang
Biku Bembo menggantikan Ajai Siang
Biku Bejenggo menggantikan Ajai Begelan Mato
Biku Bermano menggantikan Ajai Malang
Setelah dipimpin oleh empat Biku, Renah Sekalawi berkembang menjadi daerah yang makmur dan mulai produktif pertaniannya sudah mulai bercocok tanam, berkebun dan berladang. Sehingga pada saat itulah kebudayaan mereka semakin jelas dan terkenal dengan adanya tulisan sendiri dengan abjad Ka-Ga-Nga (sampai sekarang masih lestari dan di klaim menjadi tulisan asli Bengkulu).
Setelah keempat Biku terpilih untuk memimpin kelompok masyarakat mendapat sebuah tantangan dalam bentuk bencana wabah penyakit yang menyerang masyarakat. Bencana itu terjadi kira-kira akhir abad ke XIII, wabah penyakit yang banyak merenggut jiwa masyarakat tanpa memandang umur dan jenis kelamin. Menurut ramalan para ahli nujum setempat yang menyebabkan datangnya musibah itu adalah seekor beruk putih yang bernama Benuang Sakti dan berdiam di atas sebuah pohon yang besar di tengah hutan.
Untuk mencari jalan keluar atas bencana yang terjadi, keempat Biku itu bersepakatlah untuk mencari pohon besar tersebut dan segera menebangnya dengan sebuah harapan setelah ditebang dapat mengakhiri wabah yang terjadi. Setelah membagi tugas masing-masing mereka berpencar ke segala penjuru hutan dan akhirnya rombongan Biku Bermano sampai dan menemukan pohon besar yang mereka cari, mereka kemudian segera untuk menebang pohon besar itu, namun usaha mereka tidak berhasil menebang pohon tersebut karena semakin ditebang oleh kapak, pohon tersebut semakin bertambah besar, kejadian yang sama terjadi, setelah rombongan dari Biku Sepanjang Jiwo sampai di tempat yang sama dan mencoba untuk menebang pohon besar itu, disusul rombongan dari Biku Bejenggo tetapi pohon itu pun tidak juga roboh. Pada saat itu munculah rombongan terakhir yaitu Biku Bembo dan kepada mereka diceritakan kejadian aneh yang mereka alami dalam menebang pohon besar yang tidak mau roboh setelah ditebang bahkan pohon itu bertamah besar.
“Riwayat saat bertemu rombongan pimpinan Biku Bembo bertemu dengan ketiga rombongan di tempat ditemukannya pohon besar yang di atasnya ada beruk putih bernama Benuang Sakti berada terlontarlah kata-kata dalam bahasa Rejang: pro pah kumu telebong yang berarti di sini kiranya saudara-saudar berada. Sejak peristiwa itu Renah Sekalawi bertukar nama menjadi Lebong”.
Setelah diceritakan kejadian yang terjadi kepada rombongan Biku Bembo, mereka bermusyawarah untuk mengatasi masalah yang terjadi itu dan bersepakat meminta petunjuk kepada Sang Hiang (Yang Maha Kuasa) supaya dapat mencari cara bagaimana menebang pohon besar itu supaya dapat ditebang. Cara yang dilakukan oleh keempat Biku itu adalah dengan betarak (bertapa), setelah betarak dilakukan mereka mendapat petunjuk pohon itu dapat ditebang kalau dibawahnya digalang/ditopang oleh tujuh orang gadis muda/remaja.
Setelah itu mereka bergegas menyiapkan segala sesuatu petunjuk yang didapat oleh Sang Hiyang termasuk bagaimana caranya mereka mencari akal supaya ketujuh gadis itu supaya tidak menjadi korban atau mati tertimpa oleh pohon besar yang akan dirobohkan. Selanjutnya mereka menggali parit untuk menyelamatkan ketujuh gadis penggalang itu. Setelah pekerjaan membuat parit dan ketujuh gadis siap untuk menggalang pohon yang akan dirobohkan, maka mulailah pohon besar itu ditebang dan sesungguhnya pohon itu roboh di atas tempat ketujuh gadis penggalang. Parit yang dibuat tepat di tempat rebahnya pohon besar yang telah ditebang telah menyelamatkan ke tujuh gadis dari maut dan terlindungi di dalam parit yang dibuat.
“Peristiwa yang diriwayatkan di atas dijadikan awal dari pemberian nama bagi petulai-petulai mereka sesuai dengan pekerjaan rombongan pemimpin masing-masing dalam usaha menebang pohon besar dimana tempat bersemayam beruk putih Benuang Sakti”.
Petulai Biku Sepanjang Jiwo diberi nama Tubeui atau Tubai, asal kata dari bahasa Rejang “berubeui-ubeui” yang berarti berduyun-duyun.
Petulai Biku Bermano diberi nama Bermani, asal kata ini dari bahasa Rejang “beram manis” yang berarti tapai manis.
Petulai Biku Bembo diberi nama jurukalang, asal kata dari bahasa Rejang “kalang” yang berarti galang.
Petulai Biku Bejenggo diberi nama Selupuei asal kata dari bahasa Rejang “berupeui-uoeui” yang berarti bertumpuk-tumpuk.
Maka sejak saat itulah Renah Sekalawi bernama Lebong dan tercipta Rejang Empat petulai yang menjadi Intisari dan asal mula suku bangsa Rejang.
Kesepakatan yang di bangun setalah prosesi penebangan kayu Benuang Sakti ini semua rakyat di bawah pimpinan Bikau Sepanjang Jiwo di mana saja mereka berada di satukan di bawah kesatuan Tubey dan berpusat di Pelabai. Dengan kembalinya Bikau Sepanjang Jiwo ke Majapahit atau ada yang berpendapat ke bagian Majapahit Melayu yang berfusat di Pagar Ruyung, kepemimpinan Bikau ini kemudian di gantikan oleh Rajo Mengat atau Rajo Mudo Gunung Gedang yang kedatangannya dapat diperkirakan sekitar abad ke-15.
Baru setelah kepemimpinan Rajo Mengat ini yang digantikan oleh anaknya bernama Ki Karang Nio yang memakai gelar Sultan Abdullah akibat pertambahan jumlah penduduk dan kebutuhan untuk invansi wilayah, maka anak komunitas ini bertebaran dan membentuk komunitas-komunitas baru atas kesepakatan besar yang dilakukan di Lebong kemudian Petulai Tubey ini dipecahkan menjadi Marga Suku IX yang berkedudukan di Kutai Belau Saten, Marga Suku VIII di Muara Aman dan Merigi untuk pecahan Petulai Tubey di Luar wilayah Lebong.
Petulai Selupu tidak pecah dan tetap utuh walaupun anggota-anggotanya bertebaran ke mana-mana. Menurut riwayat Bikau Pejenggo yang mengantikan Ajai Malang ini berkedudukan di Batu Lebar di Kesambe yang merupakan wilayah Rejang, sedangkan Desa Administratif Atas Tebing include ke dalam wilayah adat Selupu Lebong yang merupakan wilayah desa yang berbatasan dengan wilayah adat Rejang Pesisir dan Desa Suka Datang berada dalam wilayah Marga Suku IX secara fisik berbatasan dengan wilayah Adat Bintunan Rejang Pesisir.
Sistem Kelembagaan Komunal/Adat
Dari resume yang ditulis di atas dapat diketahui bahwa asal usul suku bangsa Rejang dari Lebong dan berasal dari empat Petulai yaitu Jurukalang, Bermani, Selupu dan Tubey. Dari Tulisan Dr Hazairin dalam bukunya De Redjang yang mengutip tulisan dari Muhammad Husein Petulai di sebut juga dengan sebutan Mego.
Hal ini di perkuat juga dengan tulisan orang-orang inggris yang pernah di Bengkulu Marsden dan Raffles demikian juga dengan orang Belanda Ress dan Swaab menyebut juga perkataan Mego.
Petulai atau Mego ini adalah kesatuan kekeluargaan yang timbul dari sistem unilateral dengan sistem garis keturunan yang patrilinial dan perkawinan yang eksogami, sekalipun mereka terpencar dimana-mana. Sistem eksogami ini merupakan syarat mutlah timbulya Petulai/clan sedangkan sistem kekeluargaan yang patrilineal sangat mempengaruhi sistem kemasyarakatan dan akhirnya mempengaruhi bentuk kesatuan dan kekuasaan dalam masyarakat.
Pada zaman Bikau masyarakat di atur atas dasar sistem hukum yang di buat berdasarkan azas mufakat/musyawarah, keadaan ini melahirkan kesatuan masyarakat hukum adat yang disebut dengan Kutai yang dikepalai oleh Ketuai Kutai. Kutai ini bersal dari Bahasa dan perkataan Hindu Kuta yang difinisikan sebagai Dusun yang berdiri sendiri, sehingga pengertian Kutai ini adalah kesatuan masyarakat hukum adat tunggal yang geneologis dengan pemerintahan yang berdiri sendiri dan bersifat kekeluargaan.
Pada Zaman kolonial kemudian sistem kelembagaan dan pemerintahan adat ini oleh Assisten Residen Belanda J. Walland (1861-1865) kemudian mengadopsi sistem pemerintahan lokal yang ada di wilayah Palembang dengan menyebut Kutai atau Petulai ini dengan sebutan Marga yang dikepalai oleh Pesirah. Dengan bergantinya sistem pemerintahan ini Kutai di ganti dengan sebutan Dusun sebagai kesatuan masyarakat hukum adat secara teroterial di bawah kekuasaan seorang Kepala Marga yang bergelar Pesirah.
Minggu, 18 Desember 2011
PLTA MUSI harus Memperhatikan Masyarakat sekitar waduk
Aktivitas Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA)
Musi di Desa Ujan mas Kecamatan Ujan mas Kabupaten Kepahiang Bengkulu Untuk
menggerakan turbin, pembangkit ini mengambil air dari Sungai Musi berkisar 6
meter kubik per detik atau 6.000 liter per detik.
Pembangkit kemudian menyuplai listrik ke sistem
interkoneksi Sumatera sebesar 3 X 70 megawatt (MW). PLTA Musi dibangun dengan
membendung aliran ulu Sungai Musi untuk menggerakkan turbin.
Air Sungai Musi yang dibendung untuk dialirkan ke
dalam saluran sekitar 400 meter di kedalaman tanah tidak dialirkan kembali ke
sungai asalnya, Musi. Air Sungai Musi dibuang ke laut Bengkulu melalui Sungai
Aur.
Hal itu terpaksa dilakukan menurut pihak
PLTA karena sungai asal lebih tinggi. Air tidak mungkin dialirkan kembali ke
tempat asalnya yang lebih tinggi.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (WALHI) Bengkulu, Zenzi Suhadi, mengatakan, awal pembangunan PLTA
Musi itu memang sudah ada permasalahan dengan warga. Sempat terjadi konflik
antara pihak PLTA dengan warga Desa Tanjungalam.
Warga menolak pembangunan PLTA karena areal
pesawahan warga menjadi seperti danau akibat tergenang air limpahan dari
bendungan PLTA.
“Untuk kerusakan DAS Musi sendiri akibat
pembangunan PLTA itu kita belum melakukan investigasi secara mendalam. Namun
dari laporan informal, memang ada keluhan dari masyarakat,” katanya.
Ditambahkan Zenzi, ketika ketinggian air di
bendungan melebihi batas maksimal maka bendungan dibuka dan mengakibatkan ada
pemukiman warga dan areal persawahan yang terendam, seperti di daerah Bengkulu
Tengah.
Warga yang tinggal di pinggiran Daerah
Aliran Sungai (DAS) Musi di hilir bendungan tersebut diliputi perasaan cemas
karena air sungai sewaktu-waktu bisa saja datang seperti air bah.
“Kalau pihak PLTA membuka bendungan di atas
maka permukaan air naik sangat cepat. Warga yang tengah mandi harus buru-buru
keluar dari sungai kalau tidak ingin hanyut. Warga jadi resah,” ujar Rozi (38)
warga Desa Embongijuk Kecamatan Bermaniilir Kebupaten Kepahiang.
Dijelaskannya, pihak PLTA biasanya membuka
bendungan 2-3 hari sekali berdasarkan alat pengukur ketinggian air. Saat
ketinggian air untuk dialirkan ke turbin melebihi batas, maka pihak PLTA
membuka bendungan. Akibatnya, air naik dengan cepat mencapai 1,5 meter.
Bahkan dari data yang ada saat ini keberadaan
bendungan PLTA MUSI telah menelan sedikitnya 2 korban jiwa, yang terahir adalah
seorang Anak kecil berumur 9 Tahun di Desa Daspetah, yang hanyut saat mandi
bersama teman-temannya, yang diduga terjadinya air pasang secara tiba-tiba.
Selain itu Konflik dengan Masyarakat sekitar
sering terjadi karena tidak adanya perhatian dari Pihak PLTA MUSI terhadap
keberadaan masyarakat di wilayah Waduk, tidak ada usaha dan kerjasama
meningkatkan Tarap perekonomian masyarakat sekitar, sehingga di saat musim
peceklik masyarakat selalu mencari pekerjaan yang ujung-ujung nya terjadinya
konfilk ekonomi dengan warga PLTA MUSI
Selain itu pihak PLTA MUSI seolah menganggap
keberadaan Masyarakat sekitar waduk hanyalah orang lain yang tak perlu mendapat
perhatian apa-apa, keberadaan Lahan tidur yang seharus nya bisa dimaafkan untuk
kesejahteraan masyarakat sekitar, justru hanya dijadikan Lahan kosong yang
penuh dengan semak belukar, yang menurut warga justru menjadi sarang dari hama
babi, selain itu tidak ada usaha yang dilakukan oleh pihak PLTA MUSI terhadap
peningkatan kemampuan Pemuda di sekitar waduk, baik berupa pelatihan ataupun
pemberian modal usaha untuk peningkatan SDM pemuda masyarakat desa diwilayah
waduk PLTA MUSI tersebut, dan hal ini merupakan bom waktu saja bagi pihak PLTA
MUSI dan masyarakat sekitar PLTA MUSI untuk terjadinya konflik.
dan diharapkan dengan adanya Organisasi
Kepemudaan yang terdiri dari Pemuda-Pemuda wilayah Ujan Mas Merigi yang
tergabung dalam ‘Save Generation PLTA MUSI ( Pemuda LinTAs Masyarakat UjanmaS
merigI), wacana konflik antara Masyarakat sekitar PLTA MUSI dapat
diminimalisir, dan tentunya ini juga harus didukung dengan keseriusan dari
pihak Managemen PLTA MUSI.tq
Jumat, 16 Desember 2011
INOK DAPET
Cou ku sako idup ke
saro yo
Inok cigei bapak nikeak
igei
Cou ku taen manea dalen
yo
Inok dapet sayang ne
puro puro
Mulai kabuk mulai simareak
Cou gik ksaleak tapi si mloak mubeak
lak mgadeu mai ipe mgadeu
ade bapak galak kulo aleu
Amen pacak ukuk pkinai
Kinai tulung kidup inok
ku igei
Cou ku taen manei dalen
yo
Inok dapet gik ke
garang o
Oiiii bapak ade kumu namen
Idong laleu keme idup saro
Lak mukmei nelei emoi iey
Ade lapen silei ngen pucuk ubey
Mengapa ada Save Generation PLTA MUSI
Pemuda LinTAs Masyarakat UjanmaS merigI
Kecamatan Ujan Mas berada pada
wilayah Kabupaten kepahiang Propinsi Bengkulu Indonesia. Kabupaten ini
merupakan Kabupaten pemekaran dari Kabupaten Rejang Lebong yang berdiri pada
tanggal 7 Januari 2004 (UU No. 39 Tahun 2003).
Dikecamatan Ujan Mas ini berdiri
Megah sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Air , yang berasal dari air Musi ( PLTA
MUSI). Keberadaan pembangkit dengan tenaga 3 x 70 MW ini tentu saja harus
banyak memberikan kontribusi yang positif bagi masyarakat sekitar, baik
disekitar waduk mapun di wilayah Bengkulu pada umumnya, dan tentu saja
keberadaan Pembangkit Mega Power ini dapat menjawab semua permasalahan yang ada
yang sering dihadapi oleh Bengkulu pada umumnya, yaitu kekurangan daya terhadap
arus listrik, yang menyebabkan terkadang wilayah kabupaten atau daerah
terpencil sering kekurangan pasokan Listrik. Dan hal halin yang juga diharapkan
adalah adanya peningkatan Perekonomian Masyarakat disekitar Waduk, baik melalui
Program Tambak atau perikanan atau melalui bantuan pelatihan dan modal yang bias
difasilitasi oleh Managemen PLTA MUSI.
Namun kenyataan yang ada selama ini PLTA MUSI seolah tutup mata dengan perekonomian masyarakat sekitar waduk dan Kabupaten Kepahiang umumnya. Bahkan Program Unggulan dari Pemerintah Daerah seolah dijadikan hanya sebagai hembusan angin lalu saja. PLTA MUSI bahkan lebih merelakan Lahan Tidur milik mereka menjadi sarang hama Babi bagi petani disekitar waduk, disbanding dimamfaatkan untuk peningkatan ekonomi kerayatan, bahkan organisasi kepemudaan pun tidak pernah dilibatkan atau dibina untuk bisa berpartisifasi dalam meningkatkan kemampuan Finansial, yang ada pemuda-pemuda sekitar waduk PLTA MUSI berbondong mencari penghidupan ke Propinsi Tentangga yaitu jambi
Namun kenyataan yang ada selama ini PLTA MUSI seolah tutup mata dengan perekonomian masyarakat sekitar waduk dan Kabupaten Kepahiang umumnya. Bahkan Program Unggulan dari Pemerintah Daerah seolah dijadikan hanya sebagai hembusan angin lalu saja. PLTA MUSI bahkan lebih merelakan Lahan Tidur milik mereka menjadi sarang hama Babi bagi petani disekitar waduk, disbanding dimamfaatkan untuk peningkatan ekonomi kerayatan, bahkan organisasi kepemudaan pun tidak pernah dilibatkan atau dibina untuk bisa berpartisifasi dalam meningkatkan kemampuan Finansial, yang ada pemuda-pemuda sekitar waduk PLTA MUSI berbondong mencari penghidupan ke Propinsi Tentangga yaitu jambi
Dan sebagai Generasi Ujan Mas
maka pada tanggal 7 Desember 2011 bertempat di keluarahan Ujan Mas saya
mengumpulkan beberapa rekan2 Pemuda dari wilayah Ujan Mas Merigi, bersatu padu
dan satu suara untuk bisa bergerak terhadap kondisi itu maka terbentuklah
Organisasi Kepemudaan yang kami beri Nama “Save Generation Pemuda LinTAs
Masyarakat UjanmaS merigI (PLTA MUSI) “, dengan tujuan mencoba menggali potensi
Pemuda-Pemuda sekitar waduk dan berusaha menjalin kemitraan bersama antara PLTA
MUSI dan Organisasi Kepemudaan Ujan Mas Merigi.
Adapun yang akan menjadi gerakan
pertama adalah dalam rangka menyambut HUT Kabupaten Kepahiang yaitu Kompetisi
akhir Tahun 2011, dan juga program berkelanjutan yaitu Program Peningkatan
Pendapatan dan ekonomi Masyarakat Ujan mas merigi yaitu Program Budidaya Lobster
dan juga pemamfaatan Lahan Tidur PLTA MUSI berupa penanaman Kayu Singon, Jagung
dan Kacang Kedelai
Dan tentunya program ini diharapkan
bisa mendapat perhatian Khusus dari Pihak PLTA MUSI
Diposkan Oleh Ketua “Save
Generation Pemuda LinTAs Masyarakat UjanmaS merigI
Abdul Pajri, SH
PERAN BESAR DAPIL I PLUS DPRD KABUPATEN KEPAHIANG
Kabupaten Kepahiang adalah salah
satu Kabupaten di Provinsi Bengkulu, Indonesia. Kabupaten ini merupakan
Kabupaten pemekaran dari Kabupaten Rejang Lebong yang berdiri pada tanggal 7
Januari 2004 (UU No. 39 Tahun 2003). Mayoritas penduduk Kabupaten Kepahiang
adalah Suku Rejang Kepahiang. Rejang disebut dengan Hejang oleh suku tersebut.
Ibukota Kabupaten Kepahiang
adalah Kepahiang dengan luas wilayah 704,57 KM2. Secara administrative, daerah
ini terbagi menjadi 8 (delapan) Kecamatan dan 91 (Sembilan puluh satu) desa.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) Kabupaten Kepahiang adalah sebuah Lembaga Perwakilan Rakyat di daerah
kabupaten yang terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum
(Pemilu) yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum pada tahun 2009.
DPRD Kabupaten juga berkedudukan
sebagai Lembaga Pemerintahan Daerah Kabupaten yang memiliki fungsi legislasi,
anggaran dan pengawasan.
Anggota DPRD Kabupaten Kepahiang
berjumlah 25 orang. Masa jabatan anggota DPRD adalah 5 tahun, dan berakhir
bersamaan pada saat anggota DPRD yang baru mengucapkan sumpah/janji.
DPRD Kabupaten merupakan mitra
kerja bupati (eksekutif). Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, Bupati tidak lagi bertanggung jawab kepada
DPRD Kabupaten, karena dipilih langsung oleh rakyat melalui Pilkada.
Anggota DPRD kepahiang terpilih
dari bebarapa Dapil yaitu Dapil I terdiri dari wilayah kecamatan Ujan Mas dan
Kecamatan Merigi, serta Dapil II dari kecamatan Kepahiang dan Kecamatan
Kabawetan, dan Dapil III dari kecamatan Tebat Karai, Seberang Musi dan Kecamatan
Muara Kemumu serta Kecamatan Bermani ilir
Khusus anggota DPRD dari Daerah
Pemilihan I atau Dapil I banyak sekali memotifasi para pemuda nya dalam
menggali potensi dan bakad yang dimiliki. Mereka berperan aktif dalam hal
kegiatan2 kepemudaan Plus didukung oleh wakil Bupati Kepahiang yang bersal dari
wilayah kecamatan ujan mas
Salah satu kegiatan yang akan
dilaksanakan adalah Young Compotetion End Of 2011 *( Kompetisi diakhir Tahun
2011 yang mengambil tema “Save Our Generation PLTA MUSI” atau selamatkan
generasi muda Pemuda LinTAs Masyarakat UjanmaS merigI dan puncak acara akan dilaksanakan pada
tanggal 31 Desember 2011
PLUS : Wabup Kepahiang
Anggota DPRD Dapil I
PLUS : Wabup Kepahiang
Anggota DPRD Dapil I
Rabu, 14 Desember 2011
Young Compotetion end of 2011
Pemuda LinTAs Masyarakat Ujan maS merigI
“save our generation”.
Katagori Perlombaan
I. Lomba Lagu Daerah dan Lagu Dangdut
II. Lomba Menghias Tumpeng
III. Lomba Fashion Show Katagori Dewasa/ Remaja & Anak-anak
Pendaftaran
Mulai Tgl 8 Desember 2011
Ditutup pada tanggal 25 Desember 2011
Pelaksanaan tgl 30 s/d 31 Desember 2011
Bertempat di Halaman Off Play dan Aula PLTA MUSI Ujan Mas
Mulai pukul 09.00 wib sampai Selesai
Puluhan Piala, Piagam, Hadiah, dan Uang Pembinaan Jutaan Rupiah
Ada TV 21 inc, Mesin Cuci, Kompor gas, Setrika, gitar, DVD, Dispenser,
Tas Sekolah, Sepatu Sekolah dan Sepatu Olah Raga
Serta Paket Biaya Siswa dari Dehasen University
UNTUK LOMBA LAGU BERKESEMPATAN KONTRAK REKAMAN
PERSEMBAHAN : DARNITA, R. ( ANGGOTA DPRD KAB. KEPAHIANG)
Kontribusi Peserta Rp. 50.000 ( Lima Puluh Ribu Rupiah ) / Katagori
Free VCD Lagu Daerah Kabupaten Kepahiang
Pendaftaran Dapat Melalui :
1. Warnet Fauzan Ujan Mas Atas(081930507727)
2. Idrus Soleh/ Suro Muncar
3. Salon “Juita” Bengkulu (085378864008)
4. Norman Bumi Sari (085789041550)
5. Toko HR Kepahiang
6. "jerry" Salon Pasar Ujung Kepahiang (085310724440)
6. "jerry" Salon Pasar Ujung Kepahiang (085310724440)
Info lebih Lanjut : 085366390707
SPONSOR UTAMA :
Langganan:
Postingan (Atom)